Pendahuluan
Secara arkeologis dan historis, keris telah dikenal masyarakat Indonesia (Nusantara) sejak zaman kuno, sekitar abad ke-5. Prasasti Tukmas di lereng barat Gunung Merapi (Grabag, Magelang, Jawa Tengah) menjadi petunjuk awal keberadaan keris di Indonesia. Meskipun demikian, secara sosiologis, keris baru menjadi bahan perbincangan setelah tersebar laporan-laporan perjalanan laut lintas negeri, seperti Yin Ya Sheng Lan (Pemandangan Indah di seberang Samudera) karya Ma Huan dan Xing Cha Sheng Lan (Menikmati Pemandangan Indah dengan Rakit Sakti) karya Fei Xin, di zaman kerajaan Majapahit (lihat Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, 2000:100-101).
Secara umum, keris dimaknai sebagai “senjata tajam yang bersarung, berujung tajam, dan bermata dua (bilahnya ada yang lurus, ada yang berkeluk-keluk)” (KBBI, 2008:681). Dalam perkembangannya, pengertian/makna keris sering mengalami perubahan seiring dengan perkembangan rasa bahasa dan sistem simbol dalam masyarakat penggunanya. Di Jawa, misalnya, keris dianggap sebagai istilah yang tumbuh dari jarwadhosok “akronim”: ke dan ris. Ke akronim dari kekeran “pagar, penghalang, peringatan, pengendalian”, sedangkan ris akronim dari aris “tenang, lambat, halus”. Keris, dengan demikian, dipahami sebagai alat defensif dengan konsekuensi akan pentingnya penekanan tentang kesadaran etis yang mengesampingkan performan keris sebagai senjata tajam yang keras dan agresif. Pengertian seperti itu biasanya berbarengan dengan pemolesan makna simbolis tentang kesejahteraan hidup melalui konsepsi angsar, yakni kepercayaan akan adanya kekuatan dalam karya estetik yang akan dapat mendatangkan keberuntungan. Dalam proses regenerasi, “pesan moral” seperti itu dianggap sebagai wasiat (nasihat peninggalan nenek moyang) yang wajib dijalankan. Di satu sisi, keris ditempatkan sebagai senjata untuk perlindungan diri, di sisi lain keris menjadi simbol kedewasaan, kepercayaan, kebebasan, serta tanggung jawab sosial dalam masyarakat.
Dalam keluarga masyarakat Jawa, seorang ayah biasanya akan memberikan bilah keris kepada anak perempuannya yang akan menikah. Keris itu kemudian diserahkan kepada (calon) suami (untuk disimpan), di samping sebagai tanda adanya ikatan berdasarkan persetujuan keluarga terhadap (calon) menantu, juga sebagai tanda penyerahan tanggung jawab atas anak perempuan dari seorang ayah kepada menantu (dan besan) untuk mendapatkan kasih sayang, perlindungan, dan kesejahteraan. Jika keluarga baru itu kandas (bercerai), keris akan diserahkan kembali ke mertua (disimpan oleh perempuan yang menjanda). Keris akan dikeluarkan kembali jika si janda menikah lagi.
Pewarisan keris dapat pula dilakukan atas dasar kepercayaan kepada pihak lain, bukan atas dasar keturunan (proses regenerasi). Dalam kasus-kasus tertentu, pewarisan keris bahkan terkait dengan simbol garis penerus yang berhubungan dengan kapasitas khusus tertentu dalam tradisi, seperti pewarisan otoritas yang dimiliki seorang tokoh/kerajaan kepada tokoh/kerajaan lain yang dipercaya dapat memegang amanat.
Tulisan ini sebenarnya hendak melihat makna keris tameng sari dalam salah satu sajak Taufik Ikram Jamil, “tameng sari kuserahkan kembali” (Fragmen Waktu, 2010:106-107). Sajak 9 bait itu akan didekati secara mitologis (“kisah masa lalu”) dengan mengaitkannya dengan kepercayaan/pemahaman masyarakat (Riau, melalui Taufik Ikram Jamil) atas keberadaan keris tameng sari.
Sastra dan Mitologi
Dalam salah satu tulisannya, Budi Darma (2004:130) berpendapat bahwa sastra adalah kepanjangan dari mitologi. Seperti halnya dalam sastra, di dalam mitologi terdapat tokoh-tokoh yang mengalami konflik kejiwaan/masalah psikologis sehingga antara sastra, mitologi, dan psikologi sesungguhnya saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.
Untuk mendukung pendapatnya itu, Budi Darma mencontohkan asal-usul istilah histeria dan narsisme. Konon, kedua istilah itu diambil dari dua nama tokoh dalam mitologi Yunani Kuno yang mengalami masalah psikologi: Histeria dan Narcissus. Histeria adalah tokoh wanita yang mengalami ketidakberesan pada rahimnya. Setiap kali ketidakberesan itu muncul, Histeria selalu berteriak-teriak, kadang menangis, kadang tertawa, dan kadang marah-marah tidak dapat lagi mengendalikan emosinya. Sementara itu, Narcissus adalah tokoh pria (?) yang mencintai dan mengagumi diri sendiri secara berlebihan. Kini, keduanya: histeria dan narsisme digunakan untuk setiap orang (baik pria maupun wanita) yang mengalami gangguan kejiwaan seperti itu.
Sebagai produk budaya, idealnya, mitos akan selalu hidup dan memberi pengaruh terhadap perilaku dan pandangan hidup masyarakat. Mitos bukan sekadar sebuah konsep/gagasan, melainkan suatu lambang dalam bentuk wacana. Mitos, dengan demikian, selalu menghadirkan sebuah sistem komunikasi yang menawarkan pesan masa lalu: ide, ingatan, kenangan, dan bahkan keputusan yang diyakini masyarakatnya (Barthes, 1981:193). Oleh karena itu, dalam kondisi yang benar, mitos dapat mengembangkan integritas masyarakat: memadukan kekuatan kebersamaan yang terpecah serta dapat membentuk solidaritas, identitas kelompok, dan harmonisasi komunal.
Keris Tameng Sari
Pada mulanya, Tameng Sari adalah nama seorang hulubalang (pendekar) kerajaan Majapahit. Ia memiliki sebilah keris yang sangat sakti. Dalam Hikayat Hang Tuah disebutkan bahwa Tameng Sari, karena mengamuk dan hendak membunuh raja Majapahit saat menerima kunjungan hulubalang kerajaan Melaka, mati di tangan Hang Tuah. Atas kejadian itu, keris Tameng Sari dihadiahkan oleh raja Majapahit kepada Hang Tuah. Sejak saat itu keris itu pun disebut keris tameng sari. Konon, keris tameng sari itu pula yang digunakan Hang Tuah untuk membunuh Hang Jebat.
Penghadiahan keris tameng sari dari raja Majapahit kepada Hang Tuah, setidaknya, memiliki dua makna. Di samping merupakan sebuah pengakuan (atas ketangguhan Hang Tuah) dan tanda ikatan persahabatan (antara Raja dan Hang Tuah, Majapahit dan Melaka, bahkan Jawa dan Sumatera), penghadiahan itu juga merupakan simbolisasi dari sebuah prosesi pewarisan otoritas kerajaan Majapahit kepada kerajaan Melaka yang dianggap mampu memegang amanat.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah pemahaman seperti itu terlihat pada sajak Taufik Ikram Jamil, “tameng sari kuserahkan kembali”? Lalu, mengapa keris tameng sari dikembalikan? Untuk menjawabnya, mari kita simak terlebih dulu penggalan sajaknya (bait 1) berikut ini.
sumpah itu tak akan pernah terlupakan
makanya keris tameng sari ini sempat lama kusimpan
jadi semerbak kuntum-kuntum bunga
berucap pada negeri-negeri jauh
dengan kefasihan mantera tanpa keluh
Rupanya, bagi si aku lirik, menyimpan keris tameng sari bukan sekadar karena adanya kewajiban pemenuhan atas sumpah/janji, melainkan juga karena adanya pengakuan: dengan kefasihan mantera tanpa keluh atas keberadaan keris tameng sari (dengan segala makna simbolisnya) yang telah mengharum ke negeri-negeri jauh sekalipun. Meskipun demikian, pada bait 2, si aku lirik mencoba menampik hal itu dengan mengatakan, “tapi aku memang bukan yang dulu/sementara itu engkau begitu lembut untuk diri sendiri/hingga aku menduda dari catatan-catatan laku/yang tak panjangkan sua kita/pada tali persaudaraan yang kian pendek”. Oleh karena itu, si aku lirik pun membuat keputusan (bait 3) seperti berikut ini.
lalu kuserahkan kembali keris tameng sari ini
bersama kisah pilu di hulunya
tempat kita sama-sama pernah bergenggam
ketika berbagai mimpi diandam
di tengah jaga yang menjelang
tetapi dalam tidur pun tiada bertemu
nasib baik terpuruk ke dalam angan-angan
Begitulah, setelah membeberkan berbagai kekecewaannya (dengan menyodorkan keironisan-keironisan yang dinyatakan pada bait 4, 5, 6, 7, dan 8), aku lirik menutup sajaknya dengan mengulang keputusannya (bait 9) seperti berikut ini.
kuserahkan kembali keris tameng sari ini
sebelum tikamnya menjadi makin runcing
di tanganku kehilangan kendali
karena jarak yang kian tersarung
untuk kesalahan yang terus terasah
dalam catatan-catatan berbatu
yang telah mencalarkan diri sendiri
demi marwah yang makin basah oleh air mata
Penutup
Melalui pembacaan sederhana seperti itu, dua pertanyaan yang diajukan dapat dijawab. Pertama, keris tameng sari (oleh si aku lirik) tidak hanya dipahami sebagai senjata untuk perlindungan diri, tetapi juga dipahami sebagai simbol ikatan persaudaraan antarkita: aku dan engkau, Melaka dan Majapahit, dan/atau daerah (Riau/Sumatera) dan pusat (Jakarta/Jawa). Kedua, keris tameng sari dikembalikan karena si aku lirik kecewa, merasa telah dikhianati oleh engkau: pemberi keris tameng sari.
Atas dua jawaban itu, patut diduga Taufik Ikram Jamil (melalui sajaknya, “tameng sari kuserahkan kembali” ini) ingin melakukan demitefikasi keris tameng sari.
Lihatan ini, bisa jadi, tidak memuaskan semua pihak. Meskipun demikian, dengan segala kelemahannya, (diharapkan) lihatan ini mampu menggoda pembaca untuk melakukan analisis/penelitian lebih lanjut. n
Agus Sri Danardana, Kepala Balai Bahasa Riau. Menulis esai di berbagai media, dan telah menerbitkan beberapa buku kritik/esai sastra. Sekarang sedang mempersiapkan salah satu buku kumpulan esai sastranya.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 17 April 2011
0 comments:
Post a Comment